Dolar AS Makin Kinclong, Harga Minyak Makin Terpuruk
Jakarta, Akuratnews.com – Sempat bergejolak, harga minyak mentah mengalami penurunan kembali. Menguatnya Dolar AS menjadi faktor dominan yang mendorong harga turun pada perdagangan Selasa (27/11). Indeks Dolar AS (DXY), naik 0,3% setelah Wakil Gubernur Bank Sentral AS Richard Clarida mengatakan bahwa ia mendukung kenaikan suku bunga secara bertahap.
Penguatan greenbacks, mendominasi jauh diatas masalah kelebihan pasokan minyak global dan ekspektasi produksi selanjutnya. Sementara kekhawatiran seputar perlambatan ekonomi global, di tumit sengketa perdagangan AS-China yang sedang berlangsung, mengangkat ekspektasi untuk penurunan permintaan energi dan kekuatan dalam dolar AS.
Harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman bulan Januari turun 7 sen, atau 0,1%, di harga $ 51,56 per barel di New York Mercantile Exchange (NYMEX). Kisaran harga saat ini diantara $ 52,38 - $ 50,30. Sementara untuk minyak mentah jenis Brent, untuk kontrak pengiriman bulan Januari merosot 27 sen, atau hampir 0,5%, menjadi $ 60,21 per barel di ICE Futures Europe.
Pada perdagangan minggu lalu, harga minyak mentah mengalami fluktuasi dimana jenis WTI terjun 7,7% pada hari Jumat. Ini merupakan rekor penurunan dalam satu hari terbesar secara prosentase sejak Juli 2015. Pada hari Senin, minyak mentah melambung 2,4 % lebih tinggi, untuk kenaikan satu hari terbesarnya dalam delapan minggu. Harga telah naik ke level tertinggi empat tahun pada awal Oktober ke tingkat pertumbuhan pasar global. Setetes itu telah meninggalkan keduanya dari puncaknya.
Ditengah harapan bahwa baik AS dan China akan mencapai kesepakatan dalam pertemuan di Argentina, akhir bulan ini. Pasar juga bersikap realistis dengan perkembangan terkini dimana Trump nampak tidak akan mundur dalam mengenakan tariff impor baru atas produk China. Indikasi perang justru makin sengit dimana Duta Besar China untuk AS, Cui Tiankai dalam sebuah wawancara dengan The Wall Street Journal pada Senin (26/11) bahwa jika hubungan perdagangan antara China - Amerika Serikat terganggu terus menerus, akan menyeret krisis keuangan global.
Sementara itu, Arab Saudi dan sekutunya dimana pendapatan mereka tergantung pada produksi minyak, kemungkinan besar akan membalikkan dorongan pasokan. Saudi sudah mengatakan mereka akan memproduksi 500.000 barel per hari. Jika benar akan melakukan pemotongan produksi dengan kerja sama Rusia tampaknya akan mendorong harga berbalik naik. (LH)
Komentar