Evaluasi Kewenangan MK Di Era Zaman Now

Jakarta, Akuratnews.com - Akademisi Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Nanda Sahputra Umara mengkritisi Mahkamah Konstitusi. Tidak hanya itu ia juga mempunyai beberapa pertanyaan kritis.

"Pertanyaan-pertanyaan kritis saya tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi yang sempat diskusikan bahkan menjadi bahan kajian saya dengan beberapa pakar hukum tata negara setahun yang lalu, terakhir persoalan ini saya tanyakan kepada Prof Deny Indrayana pada saat mengisi kuliah umum dengan tema kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Fakultas Hukum UMJ. Pertanyaan yang sudah cukup lama saya kaji ini mengenai tindakan-tindakan MK kini baru ramai dipermukaan Media, pasca permohonan uji materil pasal Zina," kata Nanda di Jakarta, Jumat (22/12/2017).

Dia menambahkan, pemikiran ini pada saat itu dilatarbelakangi dengan tindakan-tindakan MK yang menurut hematnya telah keluar dari pakemnya dalam menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya, khususnya dalam hal ihwal MK dapat menghidupkan dan mengesahkan kembali UU.

"MK sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang menjaga tegaknya konstitusi tentu saja kualitas putusannya harus benar-benar dijaga, karena putusan MK memiliki sifat final and binding yg tidak dapat diuji kembali putusannya, selain itu belum ada lembaga yang khusus mengawasi MK sehingga sangat dimungkinkan akan terjadi masalah yang serius. Walau pakem saya ada dalam kekhususan hukum pidana tapi saya rasa sebagai sarjana hukum perlu juga saya mengkaji persoalan yg menurut saya sangat perinsip," ujarnya.

Menurut Nanda, Negara Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 sehingga konsekuensi dari setiap tindakan penegakan hukum harus berpegang teguh pada aturan-aturan hukum yang berlaku.

"Setiap institusi penegak hukum tentu saja masing-masing memiliki kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang undangan. Begitupun MK sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman yang memiliki kewenangan yang diatur oleh Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan UU No 8 Tahun 2011 Tentang MK," ucapnya.

Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Memutus pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
5. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan pelanggaran impeachment.

Berdasarkan UU Nomor 8 Tahun 2011 Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan tambahan Memutus perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selama belum terbentuk peradilan khusus.

"Tegas dan jelas kewenangan MK telah diatur oleh UUD NRI 1945 dan UU MK sebagaimna yang telah diuraikan di atas. Dewasa ini praktek peradilan pada lingkup Mahkamah konstitusi yang selama ini saya perhatikan hemat saya rasanya sering terjadi tindakan-tindakan MK yang keluar dari relnya, misalnya yang sampai saat ini saya masih belum menemukan jawabannya dan alasan hukumnya baik secara yuridis ataupun doktrin-doktrin hukum yang berkembang berkaitan dengan kewenangan MK yang dapat mengesahkan dan menghidupkan kembali undang-undang yang sudah mati atau tidak berlaku lagi," ulasnya.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan menegaskan bahwa yang berhak membentuk dan mengesahkan undang-undang hanya DPR RI bersama Presiden RI.

"Tidak pernah saya temukan dasar hukum yang memberikan kewenangan kepada MK untuk mengesahkan atau menghidupkan kembali suatu undang-undang yang sudah mati atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Contoh misalnya pada saat dirubahnya UU No 11 Tahun 1974 yang telah dirubah menjadi UU No 7 Tahun 2004 Tentang Air, secara otomatekli menurut asasnya bahwa UU yang telah dirubah dinyatakan tidak berlaku setelah disahkannya UU baru sebagai pengganti UU sebelumnya, tapi kemudian pada saat itu UU Nomor 7 Tahun 2004 diajukan oleh Muhammadiyah untuk di uji di MK karena dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD NRI 1945, kemudian MK Membatalkan UU No 7 Tahun 2004 karena dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan pada putusannya MK menghidupkan kembali UU No 11 Tahun 1974, artinya dalam hal tersebut ternyata dapat kita saksikan bahwa MK dapat menghidupkan atau mengesahkan kembali UU yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi setelah adanya UU baru yang mengganti UU yang sebelumnya, Padahal UUD NRI 1945 dan UU MK tidak memberi kewenangan untuk itu kepada MK," tegasnya.

Selanjutnya, lanjut Nanda, kewenangan MK yang diberikan oleh UU yang hanya menguji norma tapi kemudian pada prakteknya banyak putusan MK yang membentuk norma "Misalnya masalah penetapan tersangka yang menjadi objek praperadilan, bukti elektronik sebagai bukti yang sah dalam pembuktian, PK berkali-kali dan lain sebagainya, tuturnya.

Lebih lanjut Nanda menyatakan, jika memang MK tidak mumpunyai kewenangan membentuk Norma seharusnya putusan-putusan MK tidak dapat dijadikan dasar untuk berhukum dalam praktek peradilan lain, karena putusan MK tidak dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi dalam praktek peradilan diluar MK, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai suatu sumber hukum Formal yang dapat dijadikan dasar berhukum pada praktek peradilan diluar MK. Akan tetapi yang menjadi unik budaya berhukum kita menerima putusan MK ini sebagai dasar berhukum dalam praktek peradilan karena memang dianggap sebagian putusan MK itu memang membuat Norma.

Mahasiswa Pasca Sarjana Magister Hukum UMJ itu menambahkan, masalah lain berkaitan dengan kewenangan MK terkait masalah efektifitas MK dalam hal ihwal konsep Uji Materil terhadap UU yang dianggap bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dirasa perlu ada juga evaluasi mendasar terhadap konsepsi pengujian UU di MK dalam perkembangan dewasa ini.

"Mungkin bisa dikatakan bahwa pengujian UU di MK dengan konsepsi saat ini sudah tidak relevan lagi menyangkut dimana proses pembentukan UU yang melalui beberapa tahapan dan proses yang begitu panjang, mulai dari penyusunan naskah akademik yang melibatkan banyak ahli, kemudian perancangan UU dan selanjutnya dilakukan pembahasan oleh legislator dan para ahli dengan memperhatikan secara rijit nilai-nilai dasar dan mempertimbangkan dasar yuridis, filosofis, dan sosiologis sebagai syarat sah berlakunya suatu Undang-Undang. Tapi kemudian pada saat UU itu dianggap oleh sebagian orang inkonstitusional kemudian diajukan kepada MK dan di uji hanya oleh 9 Hakim dengan beberapa ahli saja kemudian dapat dibatalkannya UU tersebut bahkan sampai dibatalkan secara keseluruhan, jika melihat konsep pengujian tersebut maka sangat dirasa tidak seimbang dimana proses pembentukan UU yang begitu panjang dengan pengujiannya di MK ," ungkapnya.

"Persoalan ini menjadi masalah yang sangat perinsip menurut saya sehingga hemat saya, ini menjadi suatu inkonsistensi MK terhadap kaidah-kaidah hukum yang berlaku, sehingga berdampak kepada pencideraan terhadap perinsip negara hukum.

Persoalan ini mengakibatkan perlu adanya evaluasi terhadap MK dalam hal kewenangannya sebagai lembaga kekuasaan kehakiman yang memiliki putusan final and banding sehingga perlu ada pengawasan terhadap MK, pengawasan ini juga bertujuan untuk menjaga kualitas Putusan MK," sambungnya. (Ade)

Penulis:

Baca Juga