”Hubungan suami-istri adalah untuk menyatukan dua hati dan jiwa secara mendalam dan lebih dari sekadar persetubuhan. Jadi, hubungan seksual di luar ikatan pernikahan bertentangan dengan tujuan hubungan seksual itu sendiri,” urai Fristian.
Meski begitu, Fristian berharap polemik Permendikbud a quo dapat menjadi momentum yang menyadarkan semua stake holder bahwa Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) mendesak untuk mendapat pengesahan menjadi UU.
”Secara hierarkis, RUU PKS memiliki derajat lebih tinggi dibanding Permendikbud yang sedianya mengatur hal-hal yang bersifat teknis,” jelasnya.
Berbeda dengan Fristian, politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany menyebut frasa ’tanpa persetujuan korban’ penting untuk mengafirmasi kepentingan perempuan yang selama ini selalu menjadi korban.
”Frasa persetujuan korban itu penting. Bukan untuk legalisasi zina. Tapi untuk mengafirmasi bahwa perempuan punya hak penuh atas tubuhnya,” mengutip pendapatnya dalam twitter pribadinya, Sabtu (13/11/2021).
Ia pun menyebut banyak kejadian seperti pemerkosaan yang dialami oleh perempuan di Indonesia, jika itu adalah kekerasan seksual.
“Ketika hak dan kepemilikan itu dirampas seperti dalam kasus pemerkosaan, ya itu berarti kekerasan seksual,” lanjut aktivis perempuan itu.
Menanggapi banyaknya oknum yang mengkritik Permendikbudristek Nomor 30 tahun 2021, Tsamara menyebut selalu akan ada oknum yang menyerang perempuan secara umum.