Sidang Perkara Sengketa Lahan di PN Depok Diharap Berkeputusan Adil

Kantor Pengadilan Negeri Kelas 1 B Kota Depok

Depok, Akuratnews.com- Putusan sidang perkara sengketa lahan seluas 13,5 hektar di Pengadilan Negeri (PN) Depok Nomor 67/Pdt.G/2020/PN Dpk diharap para pengarapnya bisa melahirkan keputusan adil.

Mewakili warga penggarap Bulak Ceger Pengasinan, Sawangan, Kota Depok, Noorilahi berharap hasil persidangan sengketa lahan yang dipimpin Mejelis Hakim yang dipimpin M. Iqbal Hutabarat beranggotakan dua hakim lain, Nugraha Medica Prakasa dan Forci Nilpa Darma bisa beri keputusan adil.

"Kami memohon kepada Majelis Hakim yang memimpin persidangan ini agar menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya pada sidang perkara nomor 67 di PN Depok," kata Norollahi Senin,(16/11/2020).

Dia juga berharap majelis hakim menolak semua keterangan atau penjelasan jawaban, eksepsi maupun duplik dari tergugat I, tergugat II dan turut tergugat.

"Kami yakin, Majelis Hakim pimpinan sidang di PN Depok menjalankan amanah Allah SWT dan dapat memberikan keadilan yang seadil-adilnya bagi warga para penggarap lahan di Bulak Ceger Pengasinan," ucap Nolillahi kepada wartawan.

Menurutnya, majelis hakim akan mengkedepankan semua fakta-fakta di sidang perkara tersebut. Mulai dari bukti-bukti dan keterangan dua saksi dari penggugat maupun dua saksi tergugat dari penggarap Bulak Ceger Pengasinan.

Yang dihadirkan di persidangan itu kata Norillahi menyatakan, sudah melakukan SPH (surat pelepasan hak) dan sudah menerima kerohiman dari PT. PKS.

Norillahi menuturkan, dahulu pada tahun 1960-1961, obyek sengketa tersebut telah dibebaskan oleh Raden Garmadi Kartawijaya selaku Direktur Utama CV. Pager Djaya. Saat itu, CV. Pager Djaya membebaskan tanah perkebunan, yakni tanah bekas penguasaan perusahaan asing.

Pada Pemerintahan Bung Karno tahun 1945, perusahaan asing tak boleh mengusai atau memiliki perusahaan sehingga banyak lahan menjadi terbengkalai.

Sehingga, lanjut Norillahi, saat itu Pemerintahan Bung Karno memberikan peluang bagi Perusahaan yang didirikan maupun dimiliki dan dikuasai Bangsa Indonesia.

Lantaran itu, Direktur Utama (Dirut) PT. Pagar Kandang Sakti (PKS) Noorilahi menambahkan, Raden Garmadi Kartawijaya membebaskan dan membayar retribusi tanah itu kepada Negara.

"Nama-nama penggarap di tanah tersebut terdaftar dan teregistrasi di Kantor Desa atau Kelurahan dan Kanwil Jawa Barat. Retribusinya dibayar ke Bank Pemerintah," katanya.

Dia menyebut, saat itu Bank Tani Nelayan Bogor sehingga para penggarap tidak pernah mengeluarkan biaya apa pun karena semuanya sudah dikelola dan dibayar oleh Perusahaan, yakni CV. Pager Djaya.

"Jadi sejak itu sudah membebaskan, membiayai dan mengkelola tanah tersebut serta membayar retribusinya ke Bank Tani Nelayan Bogor," ujar Norillahi.

Lantaran itu juga, jelasnya, para penggarap tidak ada yang mengeluarkan uang seperak pun. Maka, pada tahun 1965,keluarlah surat SK-KINAG Nomor 205 D/VIII-54/1965 yang telah dikuasakan kepada saya selaku Direktur Utama PT. PKS.

Noorilahi mengatakan, di persidangan pihaknya selaku penggugat telah memohon sita jaminan menyangkut obyek yang disengketakan seluas 13,5 Hektar.

Dalam kesimpulan, Noorilahi yang juga selaku koordinator 64 orang penggarap Bulak Ceger Pengasinan meminta tergugat membuktikan warkah asal muasal SHM (38, 39, 1018) dan dalan persidangan tergugat hanya bisa menunjukkan bukti kepemilikan tanah kepada Majelis Hakim berupa SHGB dan Siteplan.

Di persidangan, Norillahi selaku penggugat menghadirkan dua Saksi yakni, perwakilan penggarap. Maman bin Benin Midih yang menerangkan, menandatangani dan menerima pembayaran kerohiman dari PT. PKS atas SPH.

Sedangkan Syarif Hidayat, Mantan Ketua LPM Pengasinan, yang saat itu masih menjabat, turut mengakui SPH dan pernyataan para Penggarap yang ditandatangani dan teregister di Kantor Kelurahan.

Dalam persidangan pihak tergugat juga turut menghadirkan dua saksi yakni, Agusman Japar dan Zaenal Abidin. Mereka adalah penggarap SK-KINAG. Dalam kesaksianya Agusman Japar menerangkan, saat dia berusia 10 tahun, tanah garapan tersebut sudah dijual orang tuanya kepada pembeli Ibrahim Marta Legawa.

Sementara berdasarkan PP 224 tahun 1961 dinyatakan, bahwa Penggarap tidak berhak melakukan jual beli tanah garapan. Meskipun ada jual beli atas tanah garapan tersebut, harus diketahui oleh RT, RW, LPM, Lurah dan Camat serta harus teregistrasi untuk dijadikan dasar alas hak.

"Saksi Agusman Japar di persidangan juga mengakui menerima sejumlah uang kerohiman dan menandatangani SPH ke PT. PKS yang disaksikan oleh RT, RW setempat. Dalam kesaksian Zaenal Abidin, dia juga mengakui menandatangani SPH, surat pernyataan penggarap serta keterangan waris dan menerima uang kerohiman dari PT. PKS," ujar Norillahi.

Sementara, mengenai registrasi yang dipermasalahkan pihak tergugat, menurut Noorilahi, registrasi itu telah diatur UUPA Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraris dan di UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Sebagaimana diketahui dalam Pasal 242-243 pelaksanaannya diatur di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah yang menunjukkan bahwa kedudukan nomor register berdasarkan prinsip Otonomi Daerah menurut UUD 1945 dan diatur dalam PP Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Jadi, dikatakan Norillahi, dalam peraturan dan perundangan-undangan itu semuanya sudah dikatakan bahwa terhadap pendaftaran tanah berupa bukti tertulis.

Dan bilamana registrasi desa dapat dibuktikan kebenaran data fisik dan yuridisnya maka, registrasi desa dapat dijadikan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah pengganti sertifikat yang belum diterbitkan.

"Dengan demikian, kami memohon majelis hakim yang memimpin persidangan ini agar menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya atas dasar obyek yang disengketakan dalam perkara perdata Nomor 67/Pdt.G/2020/PN Dpk adalah milik penggugat secara warkah alas dasar hak yang akan ditingkatkan menjadi SHGB secara fisik dan yuridis," tutupnya.

Penulis:

Baca Juga