Kontaminasi BPA Lebih Tinggi di Kemasan Kaleng, Pakar Jelaskan Cocoknya Pelabelan

Ilustrasi Kaleng yang digunakan sebagai kemasan produk makanan.

AKURATNEWS – Produk AMDK selama ini selalu menjadi sasaran terkait kesehatan di tanah air. Alih-alih kemasan AMDK mengandung Bisfenol A (BPA), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) berencana akan melabeli kemasan AMDK yang sudah beredar di masyarakat selama puluhan tahun. Namun demikian, ditemui dalam sebuah kesempatan, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Anwar Daud, SKM., M.Kes, C.EIA menegaskan kontaminasi BPA secara signifikan lebih tinggi terjadi pada kemasan kaleng daripada makanan non kaleng seperti makanan segar, makanan beku, dan kemasan plastik. Menurutnya, jika mau melabeli “berpotensi mengandung BPA” itu lebih cocok kepada kemasan kaleng ketimbang kemasan air.

“Tapi, kalaupun berencana mau melabeli kemasan pangan, harusnya semua kemasan itu harus dilabeli dengan menyatakan ini bebas  bahan berbahaya. Jangan ada diskriminatif kalau mau mengamankan kemasan pangan. Kalau mau dilabeli, ya semua harus dilabeli,” ujarnya di acara kegiatan workshop “Penggunaan Bahan Bisphenol A (BPA) Pada Makanan dan Minuman” yang diselenggarakan Direktorat Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan di Hotel Mercure Jakarta, Selasa, 8 November 2022.

Namun demikian, Prof. Anwar menekankan, meskipun penelitian BPOM penerapan label pada semua kemasan pangan tanpa terkecuali masih di bawah standard, kalau khusus dari alasan kesehatan, dan itu dikonsumsi terus menerus akan berbahaya juga.

Dia juga tidak setuju dengan BPOM yang menyatakan pelabelan BPA ini tidak berlaku untuk depot air minum isi ulang. Menurutnya, justru wadah-wadah air yang digunakan untuk mengisi air minum depot isi ulang itu patut dikhawatirkan karena bisa saja menggunakan wadah-wadah yang tidak berstandar. “Kalau masyarakat itu kan banyak yang lebih memilih murahnya saja. Jadi wadah-wadah yang digunakan juga kualitas KW 3,” katanya.

Pecahnya Lapisan Epoksi Karena Penyok

Sebelumnya, pakar polimer  dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ahmad Zainal Abidin juga mengatakan kemasan kaleng yang sudah rusak alias penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat. Hal itu disebabkan pecahnya lapisan epoksi yang melapisi logam pada kaleng kemasannya, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya. “Jika itu terjadi, kemungkinan makanan atau minuman yang ada dalam kemasan itu bisa beracun,” ujarnya.

Dia mengatakan bahaya migrasi BPA yang disebabkan kemasan kaleng penyok dan tergores ini lebih besar dibanding jika itu terjadi pada galon air yang berbahan Policarbonat (PC). “Kalau galon kan sudah diuji penyok atau tidak penyok migrasi BPA-nya itu rendah. Apalagi bagian luar dan dalam galon itu kan terbuat dari bahan PC. Jadi kalaupun pecah juga tetap keluarnya Policarbonat juga. Tapi kalau kaleng kemasan, itu bagian dalamnya epoksi. Jadi, ketika dia penyok, epoksinya akan sobek dan menyebabkan terjadinya migrasi BPA ke dalam produknya,” tuturnya.

Karenanya, jika BPOM mau melakukan pelabelan lolos batas aman BPA, menurutnya, kemasan kaleng ini seharusnya yang lebih diutamakan ketimbang galon air berbahan PC.  Kata Ahmad Zainal, barang-barang seperti plastik itu bersifat inert atau tidak bereaksi, baik dalam asam maupun basah. “Jadi, plastik itu nggak terlalu masalah dengan situasi asam ataupun basah. Yang bermasalah itu adalah kemasan kaleng karena ada lapisan epoksinya, di mana jika terkelupas bisa membuat produknya beracun,” tukasnya.

Selanjutnya 1 2
Penulis:

Baca Juga